.arabic { font-family: Traditional Arabic; font-size: 26px; direction:rtl; line-height: 200% ; font-weight: bold; }

tex

"Berjuang Menebarkan Kebaikan Guna Mencapai Ridho Allah"

Salam 2

Basmallah

Islami Clock

About Me

Foto saya
Hidup Adalah Perjuangan Mencari Jati Diri

Hati Bersyukur

Hati Bersyukur
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim ayat 7)

Kemerdekaan merupakan salah satu karunia besar dari Allah subhaanahu wa ta’aala kepada hamba-hambaNya. Ia merupakan ni’mat urutan kedua sesudah ni’mat kehidupan. Namun ia tetap berada pada satu urutan di bawah ni’mat termahal, yakni ni’mat keimanan. Sebagaimana ni’mat-ni’mat lainnya Allah subhaanahu wa ta’aala memerintahkan kita untuk mensyukurinya. Sebab mensyukuri ni’mat akan menghasilkan pelipatgandaan ni’mat itu sendiri. Sedangkan kufur ni’mat akan menyebabkan ni’mat itu berubah menjadi sumber bencana bahkan azab.

Sebagian ‘ulama mendefinisikan syukur ni’mat sebagai

استعمال النعمة في الطاعة لزيادة النعمة

“memanfaatkan ni’mat di jalan ketaatan sehingga ni’mat tersebut bertambah.”

Apabila kita sebagai suatu bangsa pandai memanfaatkan ni’mat kemerdekaan dengan menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara penuh dengan berbagai program ketaatan kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, niscaya ni’mat tersebut akan Allah subhaanahu wa ta’aala tambah kepada kita semua. Namun sebaliknya bilamana kemerdekaan itu kita sikapi dengan menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara jauh dari tuntunan ilahi, maka sudah sewajarnya ni’mat kemerdekaan malah terasa menjadi sumber bencana dan bahkan azab.

Adalah suatu ironi bila sebagai suatu bangsa yang berjuang berabad-abad mengusir para penjajah kafir Inggris, Portugis, Belanda dan Jepang dengan semangat takbir Allah Maha Besar...

الله اكبر

.. lalu saat meraih kemerdekaan justru membesarkan faham isme lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masihkah kita perlu heran mengapa setelah hidup di alam kemerdekaan berpuluh tahun justru kita sebagai bangsa semakin terpuruk?

Bukankah apa yang sedang kita alami sekarang hanyalah sebuah bukti kebenaran firman Allah di atas? ”... dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Mengingkari ni’mat maknanya di sini adalah tidak memanfaatkan ni’mat kemerdekaan di jalan Allah subhaanahu wa ta’aala, artinya tidak menjadikan Islam (ajaran Allah subhaanahu wa ta’aala) sebagai landasan kehidupan berbangsa.
Kita malahan lebih percaya dan bangga dengan man-made ideology daripada Jalan kehidupan yang telah digariskan Allah subhaanahu wa ta’aala. Padahal saat sedang terjepit oleh para penjajah hanya Allah subhaanahu wa ta’aala yang kita panggil dan mohonkan pertolonganNya.

Menurut seorang ‘ulama hakekat kemerdekaan atau kebebasan adalah:

كون الإنسان عبدًا لله خلقا و شعورًا و خلقا

“keberadaan manusia sebagai hamba Allah baik dari sudut penciptaan, perasaan maupun akhlaq.”

Artinya, seorang manusia, menurut pandangan Islam, barulah akan disebut merdeka bilamana ia sadar dan berusaha keras mamposisikan dirinya selaku hamba Allah subhaanahu wa ta’aala saja dalam segenap dimensi dirinya, baik penciptaan, perasaan maupun akhlaq. Dan segera ia akan divonis tidak merdeka atau belum merdeka bilamana ia masih menghambakan dirinya kepada selain Allah subhaanahu wa ta’aala.

Atau, dengan kata lain, kemerdekaan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan pada seberapa besar upaya individu atau bangsa tersebut menjadikan kalimat tauhid

لآ إله إلا الله

Sebagai motivator dan inspirator utama pembebasan diri atau bangsa dari dominasi apapun atau siapapun selain Allah subhaanahu wa ta’aala. Dan pada dasarnya inilah yang telah dida’wahkan oleh Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dan oleh segenap Nabi dan Rasul lainnya dahulu kala. Tak ada seorangpun Rasul yang diutus Allah kepada ummat manusia melainkan menyampaikan pesan abadi dan universal untuk ”hanya menyembah Allah dan menjauhi thaghut (syaithan)”.


وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS An-Nahl ayat 36)

Ini pula yang telah disampaikan oleh sahabat Rib’iy bin Aamer radhiyallahu ‘anhu saat beliau diutus khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu untuk bernegosiasi bilateral dengan negara adidaya Persia. Rib’iy berkata kepada Panglima Persia Rustum:

ابتعثنا الله لنخرج الناس من عبادة العباد لعبادة الله وحده

“Kami (umat Islam) diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba untuk menghamba kepada Allah semata.”

Sehingga Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam berhasil dengan gilang-gemilang mengeluarkan bangsa Arab dari kubangan kegelapan jahiliah kepada kecemerlangan kehidupan dan peradaban di bawah naungan ridho Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga tampillah suatu masyarakat berperadaban baru yang menyerahkan segenap dimensi kehidupannya mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah subhaanahu wa ta’aala. Sehingga lahirlah suatu ummat terbaik (khairu ummah) yang tidak mencintai, mentaati serta merasa takut kepada apapun dan siapapun selain kepada Allah subhaanahu wa ta’aala.

Demikian menyoal rejeki nikmat, Tidak optimis perihal rezeki sesungguhnya karena kita tidak memiliki keyakinan. Sikap inilah yang kemudian membuat kita khawatir, kekhawatiran yang pada akhirnya membuat kita tidak lagi aware terhadap halal atau haramnya penghasilan kita. Padahal, empat bulan dalam kandungan, setiap insan telah Allah tetapkan bagian rezekinya masing-masing. Padahal, Allah menjamin bahwa tidak satupun bintang yang melata, kecuali telah Allah tetapkan rezekinya. Artinya, bagian rezeki untuk kita pasti ada dan pasti sampai.

Selain yakin, bahwa Allah menjamin rezeki bagi setiap makhlukNya, hal lain yang juga sangat penting adalah Husnuzhan atau prasangka baik kepada Allah. Karena Allah senantiasa menurut prasangka hamba-hambaNya. Jika kita berprasangka, bahwa Allah akan memberi kita rezeki dan mencukupi kebutuhan kita, Insya Allah rezeki akan sampai kepada kita dan Allah akan penuhi kebutuhan kita. Yang perlu menjadi catatan adalah, rasa yakin di sini tentu saja rasa yakin yang disertai tindakan aktif. Maksudnya adalah, ibadah hati dengan rasa yakin , dan anggota badan melakukan ikhtiar maksimal.

Karenanya, ketika seorang hamba memilih untuk mengambil yang haram, setidaknya ada dua hal yang mendasari. Yang pertama adalah karena su’uzhzhan atau buruk sangka kepada Allah. Ia menganggap Allah tidak akan menganugerahinya rezeki yang baik dan halal. Yang kedua adalah ketidakmampuan untuk bersabar atas ujian Allah.

Prasangka baik dan juga keyakinan, tidak dapat tumbuh, jika hubungan kita dengan Allah tidak baik. Jadi kunci untuk dapat yakin dan senantiasa berprasangka baik terletak pada hubungan yang baik dengan Allah. Makin baik hubungan kita dengan Allah, makin yakinlah kita terhadapNya. Wallahua’lam.