.arabic { font-family: Traditional Arabic; font-size: 26px; direction:rtl; line-height: 200% ; font-weight: bold; }

tex

"Berjuang Menebarkan Kebaikan Guna Mencapai Ridho Allah"

Salam 2

Basmallah

Islami Clock

About Me

Foto saya
Hidup Adalah Perjuangan Mencari Jati Diri

Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

 Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari
 
10.50
Datu Kalampayan (Matahari Islam Kalimantan )*Jika disebutkan nama Datu Kalampayan atau Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari tentu semua orang Banjar, terutama mereka yang berdiam di kawasan Kalimantan mengetahui siapa beliau. Ya, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan Selatan), Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah icon peradaban dan perkembangan keislaman. Melalui jasa beliaulah Islam tersebar secara kepada masyarakat luas. Kealiman, aktivitas, dan produktivitasnya dalam berkarya dan berdakwah telah meninggalkan khazanah yang serasa tak pernah habis digali oleh generasi sekarang. Wajar jika kemudian Wan Mohd. Wan Shagir Abdullah (pengkaji naskah ulama Melayu) menjulukinya sebagai “Matahari Islam Nusantara”, K.H. Saifuddin Zuhri (mantan Menteri Agama RI periode 1962-1967) menjulukinya “Mercusuar Islam Kalimantan" oleh Gubernur Hindia Belanda di Batavia, ia dijuluki “Tuan Haji Besar”, dan bahkan Azyumardi Azra (1998: 251) memposisikannya sebagai orang yang memiliki peran penting dalam jaringan ulama nusantara, seorang ulama yang mula-mula mendirikan lembaga-lembaga Islam, dan mengenalkan gagasan-gagasan baru keagamaan di Kalimantan Selatan dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat. Syekh Muhammad Arsyad, putra terbaik Banjar ini dilahirkan pada tanggal 15 Shafar 1122 H atau 19 Maret 1710 M. Karena kecerdasan, bakat, dan kecakapannya membuat Sultan Banjar (Sultan Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah) tertarik sehingga mengajaknya untuk tinggal di istana, ketika ia berumur lebih kurang 8 tahun. Kemudian, oleh Sultan Banjar, setelah dewasa (usia 30 tahunan) ia diberangkatkan ke Mekkah untuk menuntut dan memperdalam ilmu agama, setelah sebelumnya dinikahkan dengan perempuan istana, Tuan Bajut. Selama di Mekkah, Syekh Muhammad Arsyad tinggal di sebuah rumah yang khusus dibelikan oleh Sultan Banjar, terletak di kampung Samiyyah, yang kemudian dikenal sebagai Barhat Banjar. Di Haramain (Mekkah-Madinah), Al-Banjari belajar kepada sejumlah guru terkemuka, di antara guru-gurunya yang terkenal adalah, Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syekh Athaillah bin Ahmad al-Misri, Abdul al-Mun’im al-Damanhuri, Ibrahim bin Muhammad al-Ra’is al-Zamzami al-Makki, dan lain-lain. Setelah melakoni belajarnya selama lebih kurang 30 tahun di Mekkah dan 5 tahun di Madinah, maka Syekh Muhammad Arsyad pun kembali ke Banua pada bulan Desember 1772 M (Ramadhan 1186 H bersama-sama dengan anak menantu sekaligus sahabatnya Syekh Abdul Wahab Bugis. Pada saat itu yang memerintah di Kerajaan Banjar adalah Pangeran Nata Dilaga bin Sultan Tamjidullah, sebagai wali putera mendiang Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah (1761-1787 M), yang kemudian sejak tahun 1781-1801 secara resmi memerintah sebagai Raja Banjar dan bergelar Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah. Dengan dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi daerah tempat ia menuntut ilmu (Mekkah dan Madinah), membuat Al-Banjari tanggap dan kaya dengan pikiran-pikiran keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga begitu kembali dan tiba di tanah air, Al-Banjari aktif berdakwah untuk membangun masyarakat Banjar melalui tiga bidang kegiatan, yakni bidang keagamaan, bidang sosial-kemasyarakatan, dan bidang kenegaraan. Pertama, bidang keagamaan, adalah kegiatan-kegiatan yang secara khusus berhubungan langsung dengan masalah-masalah keagamaan. Di mana di samping mengajar dan mendidik anak, cucu, dan para muridnya, Syekh Muhammad Arsyad juga pergi berdakwah (“metode jemput bola”) kepada semua lapisan masyarakat, baik rakyat biasa maupun di kalangan para bangsawan dan kerajaan. Dalam konteks ini, strategi dakwah yang ia gunakan adalah menyatu dengan kelompok subjek dakwah, menggiatkan kaderisasi dan regenerasi juru dakwah, serta berusaha mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat dan mengikutsertakan pengaruh/kekuasaan kerajaan.
Melalui kegiatan pendidikan dan kaderisasi, Syekh Muhammad Arsyad berhasil mencetak kader-kader muda yang handal, di antaranya adalah Fatimah dan Muhammad As’ad. Fatimah binti Syekh Abdul Wahab Bugis ini adalah cucu perempuan pertama Syekh Muhammad Arsyad yang telah mewarisi ilmu-ilmu keislaman dari ayah dan kakeknya, ia dapat menguasai berbagai bidang ilmu, seperti Ilmu Arabiyah, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ushuluddin, Fikih, dan sebagainya dengan baik. Sehingga kemudian bersama-sama dengan saudaranya seibu Muhammad As’ad bin Usman, mereka di kenal sebagai “bunga ilmu” Tanah Banjar. Jika Muhammad As’ad menjadi guru bagi kaumnya, maka Fatimahpun menjadi seorang guru bagi kaum perempuan yang ingin belajar ilmu agama di zamannya. Fatimah pulalah yang sebenarnya telah menyusun kitab fikih berbahasa Melayu yang sangat populer, yakni Parukunan, namun nama yang dipakai sebagai penulis kitab ini bukan nama dia, tetapi nama pamannya, yakni Mufti H. Jamaluddin, sehingga kitab ini populer dengan nama Parukunan Jamaluddin. Kitab Parukunan ini pertama kali diterbitkan di Mekkah dan Singapura tahun 1318 H, dan dicetak ulang di Bombay, terakhir di Indonesia , hingga sekarang. Kitab Parukunan ini populer dan telah dipelajari oleh orang-orang Islam Melayu sebagai dasar pelajaran agama, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Philipina, Vietnam, Kamboja, dan Burma (Zafri Zamzam, 1979).
Dakwah yang beliau sampaikan tidak hanya secara lisan, akan tetapi juga melalui tindakan (action) nyata yang bisa dilihat dan dicontoh oleh masyarakat, bahkan melalui dakwah bil-qolam (karya tulis), beliau telah menuliskan berbagai pemikiran keagamaan yang menjadi tuntunan masyarakat untuk memahami secara lebih luas tentang agamanya, sehingga karya tulis itu sampai sekarang masih relevan dikaji dan dipelajari, sepeti kitab Sabil al-Muhtadin, Kanz al-Ma’rifah, Tuhfaturraghibin, dan lain-lain. Sehingga, melalui semua ini beliau juga berhasil membentuk masyarakat Islam Banjar yang memiliki kesadaran untuk berpegang pada ajaran agama Islam melalu dakwah bil-lisan, bil-kitabah, dan bil-hal, serta diteruskan kemudian oleh generasi dan kader-kader yang telah dibina melalui upaya pengiriman juru dakwah ke berbagai daerah yang masyarakatnya sangat memerlukan pembinaan agama. Dari sini akhirnya dakwah terus berkembang dan ajaran Islam semakin tersebar luas ke tengah-tengah masyarakat Banjar. Kedua, bidang sosial-kemasyarakatan, antara lain aktivitas dakwah Syekh Muhammad Arsyad dapat dikaji melalui kegiatannya membuka perkampungan baru Dalam Pagar, membuat irigasi, dan penataan pembangunan rumah yang berwawasan lingkungan. Kampung Dalam Pagar semula hanyalah tanah kosong semak belukar terletak di pinggiran sungai Martapura, yang diberikan kepada Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang memang berhak mendapatkannya selaku bubuhan kerajaan. Tanah ini disebut dengan istilah tanah lungguh. Kemungkinan dipilihnya lokasi pinggiran sungai adalah untuk memudahkan transportasi dan komunikasi dengan daerah lain, sebab waktu itu sungai merupakan sarana transportasi yang paling utama, di samping sebab yang lain, seperti pemanfaatan potensi sungai untuk pengairan sawah dan perkebunan, untuk kebutuhan hidup sehari-hari, sebagai sumber usaha (mencari ikan), dan lain-lain. Melalui usaha Al-Banjari, Dalam Pagar kemudian benar-benar menjelma menjadi daerah yang strategis, dan tidak mengherankan jika kemudian dalam waktu yang singkat daerah yang telah di bangun oleh Syekh Muhammad Arsyad dibantu oleh menantu (Syekh Abdul Wahab Bugis), anak dan cucunya ini berkembang menjadi pemukiman penduduk yang ramai, pusat penyebaran dan pendidikan Islam, mercusuar perkembangan ilmu-ilmu keislaman, serta menjadi locus dan kawah candradimuka paling penting untuk mendidik serta mengkader para murid yang kemudian hari menjadi ulama terkemuka di kalangan masyarakat Kalimantan, di samping pula menjadi daerah pertanian yang subur (lumbung padi) pada saat itu. Sekarang Kampung Dalam Pagar termasuk daerah Kecamatan Martapura dan terbagi menjadi dua desa, yakni Kampung Dalam Pagar dan Kampung Dalam Pagar Ulu. Di Dalam Pagar pulalah kemudian Syekh Muhammad Arsyad bersama dengan anak menantu membangun surau, rumah tempat tingga sekaligus mandarasah (madrasah), yang menjadi tempat untuk belajar masyarakat, mengkaji dan menimba ilmu, sekaligus tempat untuk mendidik untuk dan membina kader-kader penerus dakwah Islam. Hal ini menjadi penanda awal lahirnya sistem pendidikan secara kelembagaan di Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan sistem pondok pesantren. Sebab adanya unsur-unsur penting sistem pondok pesantren seperti kyai, asrama atau pondok, masjid atau surau, pola pengajaran dan pengajian kitab kuning yang memakai metode sorogan dan halaqah (kaji duduk) menjadi penanda aktivitas pendidikan di Dalam Pagar ini, karena itu boleh jadi inilah pesantren pertama yang pernah ada di bumi Kalimantan. Mandarasah, adalah pusat pendidikan Islam yang serupa ciri-cirinya dengan surau di Padang Sumatera Barat, rangkang, meunasah dan dayah di Aceh, atau pesantren di Jawa. Bangunan tersebut terdiri dari ruangan-ruangan untuk belajar, pondokan tempat tinggal para santri, rumah tempat tinggal Tuan Guru atau kyai, dan perpustakaan. Oleh Humaidy (2003) lembaga pendidikan Islam ini, sebagaimana istilah yang biasa dipakai di kawasan dunia Melayu, seperti Riau, Palembang, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Fattani (Thailand) disebut punduk. Menurut Humaidy, walaupun mandarasah atau punduk, yang dibangun oleh Syekh Muhammad Arsyad itu serupa ciri-cirinya dengan pesantren di Jawa namun hal ini bukan berarti sama. Sebab punduk memiliki perbedaan yang jelas dengan pesantren, seperti proses pemunculannya yang lebih bernuansa Timur Tengah, punduk tidak didirikan semata-mata oleh Tuan Guru atau Kyai, tetapi atas partisipasi seluruh masyarakat sehingga punduk tidak mutlak milik Tuan Guru sendiri, di dalam punduk Tuan Guru tidak memiliki kuasa penuh terhadap santrinya, punduk tidak mengharuskan santri hanya mengkaji ilmu pada seorang Tuan Guru, tetapi bisa sekaligus kepada beberapa orang, Tuan Guru dan punduk menyatu dengan masyarakat luar komunitas mereka. Syekh Muhammad Arsyad juga seorang petani yang handal, hal ini terlihat dari keberhasilan usaha beliau membuka persawahan dan perkebunan di Kalampayan, dekat Lok Gabang. Daerah ini semula hanyalah merupakan lahan rawa “tidur” yang sangat luas dan belum dimanfaatkan, karena selalu tergenang air, sebab tidak ada saluran pembuangan air (kanal). Maka untuk kepentingan masyarakat banyak serta dalam rangka meningkatkan tarap hidup mereka melalui usaha pertanian, beliau kemudian membuat saluran air sepanjang 8 kilometer. Selanjutnya, oleh masyarakat tabukan sungai yang dibuat ini kemudian disebut “Sungai Tuan”, (dan sekarang jadi satu nama kampung; Kampung Sungai Tuan) untuk memberikan penghormatan kepada beliau. Di samping itu beliau secara taktis juga memberi contoh kepada masyarakat, bagaimana membangun rumah yang yang baik, berwawasan lingkungan dan berdasarkan hitungan yang matang, dari segi lokasi maupun posisi sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, baik banjir ataupun gangguan binatang. Ketiga, bidang kenegaraan, di mana melalui hubungan kekerabatan, akses yang luas ke dalam Istana, serta keberhasilannya dalam membangun dan menggerakan masyarakat memicu simpatik Sultan Banjar (Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidillah) untuk memberikan keleluasaan kepada Syekh Muhammad Arsyad untuk lebih memantapkan dan mengembangkan Islam di Tanah Banjar secara melembaga, agar agama Islam benar-benar menjadi way of life, keyakinan dan pegangan masyarakat Banjar khususnya, dan Kalimantan umumnya.
Pada akhirnya, Sultanpun berkeinginan pula untuk menertibkan dan menyempurnakan peraturan yang telah dibuat berdasarkan hukum Islam, wadah atau badan yang menjaga agar kemurnian hukum dapat diterapkan, dan yang lebih penting lagi adalah agar roda pemerintahan di kerajaan benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga bermula dari sinilah kemudian timbul lembaga-lembaga dan jabatan-jabatan keislaman dalam pemerintahan, semacam Mahkamah Syar’iyah, yakni Mufti dan Qadli. Mufti adalah sebuah istilah jabatan yang berarti hakim yang tertinggi, pengawas peradilan pada umumnya. Di bawah Mufti ada Qadli, yaitu pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berjalan dengan wajar dan benar. Mufti memimpin sebuah Mahkamah Syar’iyah, guna mengawasi pengadilan umum (masyarakat). Pejabat Mufti adalah orang yang betul-betul alim ilmu agama dan mengerti seluk-beluk hukum Islam secara mendalam. Sedangkan secara kelembagaan, Mufti adalah suatu lembaga yang bertugas memberikan nasihat atau fatwa kepada sultan masalah-masalah keagamaan, jabatan mufti kerjaan Banjar yang pertama dipegang oleh H. Muhammad As’ad bin Usman (cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari). Sedangkan qadli adalah mereka yang mengurusi dan menyelesaikan segala urusan hukum Islam, terhadap masalah perdata, pernikahan, dan waris, jabatan qadli yang pertama dipegang oleh H. Abu Su’ud bin Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Sampai akhirnya Syariat Islam diterapkan sebagai hukum resmi yang mengatur kehidupan masyarakat Islam di tanah Banjar pada masa pemerintahan Sultan Adam al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mu’tamidillah (1825-1857 M), yang dikenal dengan nama Undang-Undang Sultan Adam (UUSA). UUSA ini ditetapkan pada tanggal 15 Muharram 1251 H atau tahun 1835 M, kemudian seiring dengan terjadinya perebutan kekuasaan dalam kerajaan Banjar akibat campurtangan Belanda tahun 1857 sesudah wafatnya Sultan Adam, dan berujung pada dihapuskannya kerajaan pada tahun 1860 oleh Belanda, maka pada waktu itu pula pemberlakukan UUSA dihapuskan dari seluruh wilayah Tanah Banjar. Dibentuk dan diberlakukannya UUSA ini bertujuan untuk mengatur agar kehidupan beragama masyarakat menjadi lebih baik, mengatur agar akidah masyarakat lebih sempurna, mencegah terjadinya persengketaan, dan untuk memudahkan para hakim dalam menetapkan status hukum suatu perkara. UUSA ini antara lain berisikan, Pasal 1 sampai dengan pasal 2 berbicara tentang dasar negara yakni Islam yang Ahlus Sunnah wal Jamaah, pasal 4 sampai dengan pasal 22 menerangkan peraturan dalam peradilan berdasarkan mazhab Syafi’i, pasal 23 sampai pasal 27 berbicara tentang hukum tanah garapan, penjualan tanah, penggadaian, peminjaman dan penyewaan tanah yang harus dilakukan secara tertulis, serangkap di tangan hakim dan serangkap lagi di tangan yang berkepentingan. Gugatan terhadap tanah yang terjadi sebelum diberlakukan undang-undang dapat diajukan sebelum duapuluh tahun semenjak undang-undang ditetapkan, sedang tanah atau kebun yang terjual atau telah dibagi kepada ahli waris, dapat digugat selama sepuluh tahun dari tahun penjualan atau pembagian sampai undang-undang diberlakukan. Orang yang menang dalam perkara tidak boleh mengambil sewa selama berada di tangan tergugat. Demikianlah, setelah melakoni hidup, memenuhi kewajiban, dan perjuangan dakwah di bawah panji-panji Islam, meletakkan dasar-dasar Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara, mewariskan khazanah keilmuan dan pemikiran melalui karya tulisnya, maka pada tanggal 6 Syawal 1227 H bertepatan dengan tanggal 13 Oktober 1812 M pada usia 105 tahun, Syekh Muhammad Arsyad kembali ke-hadirat Allah SWT.
Kesimpulan, melalui usaha bidang keagamaan Syekh Muhammad Arsyad telah meninggalkan sejumlah warisan berharga (ide, pemikiran, karya tulis) untuk dikaji dan dipelajari oleh para cendikiawan keagamaan. Melalui usaha bidang sosial-kemasyarakatan Al-Banjari meninggalkan sejumlah karya nyata (atsar) yang berguna untuk masyarakat luas dan bisa ditiru oleh change agent, social worker, community developmentalist, untuk membangun, menggerakan, serta memberdayakan masyarakat melalui berbagai pendekatan yang arif bijaksana, berwawasan sosial, budaya dan lingkungan. Dan melalui usaha bidang kenegaraan Al-Banjari juga telah meninggalkan khazanah berharga tentang penerapan sistem dan perundang-undangan Islam sebagai sistem yang paling sempurna guna mengatur kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa pada masa sekarang, besok, dan masa akan datang.