.arabic { font-family: Traditional Arabic; font-size: 26px; direction:rtl; line-height: 200% ; font-weight: bold; }

tex

"Berjuang Menebarkan Kebaikan Guna Mencapai Ridho Allah"

Salam 2

Basmallah

Islami Clock

About Me

Foto saya
Hidup Adalah Perjuangan Mencari Jati Diri

Taqwa & Harta


Taqwa & Harta

Manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya dengan memanfaatkan karunia yang ada di bumi ataupun di laut. Tidak lain agar manusia selalu bersyukur dan menaati apa yang telah diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, mereka akan termasuk golongan orang-orang yang bertakwa.

Tak merupakan puncak kemuliaan manusia. Hendaknya semua orang berlomba untuk berada di bawah bendera takwa dalam naungan Allah. Bendera takwa inilah yang diangkat dan dikibarkan oleh Islam untuk menyelamatkan manusia dan fanatisme terhadap jenis kelamin, bangsa, kabilah, atau suku, dan keluarga serta keturunan.

Abu Hurairah r.a. berkata : “Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Salam, pernah ditanya, ‘Siapa manusia yang paling mulia? Beliau menjawab, “Manusia yang paling mulia atau terbaik disis Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka’. Mereka berkagta, “Kami tidak bertanya tentang itu’. Beliau bersabda, “Manusia yang paling mulia adalah Yusuf, karena ia Nabiyullah (nabi Allah), anak dan Khalilullah (kekasih Allah, ylaitu Nabi Ibrahim)’. Mereka berkata, ‘Bukan ini kami tanyakan’. Lalu, beliau balik bertanya, “Apa kalian bertanya kepadaku tentang barang tambang orang-orang Arab? Mereka menjawab,”Ya”. Nabi Sallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda, “Yang terbaik daintara kalian pada masa jahiliyah adalah yang terbaik di dalam Islam, jika mereka faqih (paham dalam urusan agama)”. (HR.Bukhari).

“Sesungguhnya, Allah tidak melihat kepda bentuk (fisik) dan harta (kekayaan) kalian, tetapi melihat kepada hati dan amal perbuatan”. (HR.Muslim)

Tetapi, memang hanya sedikit manusia yang dapat bersyukur atas segela nikmat dan karunia yang sudah diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla kepada manusia. Manusia banyak yang ingkar dan berbuat dzalim, durhaka, bukan hanya kepada Allah, tetapi juga terhadap mereka sendiri. Manusia banyak yang berlaku ‘isyraf’ (berlebihan) dalam segala hal, khususnya menggunakan pemberian Allah berupa kenikmatan dunia, dan tanpa mensyukuri atas pemberian-Nya.

Setiap harta dan kekayaan mereka miliki seharusnya disadari sepenuhnya itu merupakan amanat, dan titipan dari Allah Azza Wa Jalla, dan kelak harus dipertanggungjawabkan dihadapan Rabbnya. Tidak ada setitik hartapun yang dimiliki oleh manusia, yang kelak tidak dipertanggung jawabkan kepada Rabbnya. Harta yang dimiliki dan amanah itu, seharusnya untuk dapat menyempurnakan keimanan dan aqidahnya, melalui cara tidak menjadikan harta dan kekayaan sebagai ‘ilah’ (tuhan) baru.



Tidak mungkin seorang mukmin hidupnya dapat mendua.
Tidak mungkin seorang mukmin yang sejatih hidupanya menjadi ambivalen. Menjadi Allah Rabbul Aziz, tetapi sekaligus mencintai makhluk dan benda yang merupakan ciptaan-Nya. Manusia harus dapat membuktikan dalam hidupnya, bila dia seorang mukmin yang mukhlis, yaitu hanyalah mencintai Allah secara total, dan hanya menomorkan duakan, segala sesuatu selainnya.

Dewasa ini kita hidup dalam sebuah zaman dimana kebanyakan orang menganggap bahwa bertawakkal kepada Allah hanya dalam urusan ketika sudah menghadapi masalah dalam hidup. Itupun ke-tawakkal-an dalam bentuk memohon kepada Allah pertolongan saat diri telah tenggelam dalam kesulitan hidup seperti jatuh miskin atau sakit berat atau kehilangan sesuatu stau seseorang yang sangat dicintainya. Sedangkan sewaktu dia berjaya dia tidak pernah peduli untuk hidup dengan mengikuti petunjuk ilahi dan mematuhi aturan serta hukum Allah.

Ia bangga dan sangat percaya diri hidup berdasarkan hawa nafsu pribadinya dan mematuhi aturan dan hukum selain yang datang dari Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Mereka enggan untuk menjadikan ajaran Allah, Al-Islam, sebagai jalan hidup. Mereka lebih bangga dan percaya diri untuk menata kehidupan berdasarkan berbagai ideologi buatan manusia seperi demokrasi, nasionalisme, humanisme, liberalisme, materialisme dan sekularisme. Padahal sikap demikian menunjukkan absennya ke-tawakkal-an kepada Allah.

Dan barangsiapa yang tidak tawakkal kepada Allah berarti sama saja dengan mempersekutukan Allah dengan sesuatu selainNya alias memproklamirkan diri sebagai bagian dari kaum musyrikin. Dan menjadi bagian dari kaum musyrikin sama saja dengan menjadi loyalis kepada syetan, fihak yang semestinya seorang beriman bermusuhan dengannya dan tidak berkompromi sedkitpun dengannya.

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا

إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

”Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS Faathir ayat 6)

اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ

حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ

”Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah hizbusy-syaithan (pasukan/golongan/partai syetan). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbusy-syaithan itulah golongan yang merugi.” (QS Al-Mujaadilah ayat)