.arabic { font-family: Traditional Arabic; font-size: 26px; direction:rtl; line-height: 200% ; font-weight: bold; }

tex

"Berjuang Menebarkan Kebaikan Guna Mencapai Ridho Allah"

Salam 2

Basmallah

Islami Clock

About Me

Foto saya
Hidup Adalah Perjuangan Mencari Jati Diri

Fikih

Fikih PDF Print E-mail
Written by Abu Sangkan

F

Fikih

Satu hal penting dalam pembahasan shalat adalah fikih. Karena fikih sebagai kompilasi hukum Islam di dalamnya memuat aturan-aturan, tata cara dan prosedur penyelenggraan ibadah, termasuk penyelenggaraan ibadah shalat. Sholat dalam fiqih adalah rangkaian gerak gerik yang kita mulai dengan niyat, talbiratul ihram, dan lalu diahiri dengan salam, diawali dengan “Allahu akbar” yang diahiri dengan ucapan “assalamu alaikum”. Artinya kita tidak akan dapat melakukan sholat tanpa melakukan tahap serta syarat dalam fiqihiyah tersebut. Akan tetapi rutinitas sholat fiqiyah tersebut hanya menonjolkan sisi fisik dari penyembahan terhadap Tuhan, serta kecendrungan yang muncul adalah shalat hanya dimaknai sebagai sebuah kewajiban hamba terhadap Tuhannya, sehingga sholat hanya rutinitas yang menjemukan bagi umat manusia.

Kalau diperhatikan dari maknanya “fiqh” berasal dari bahasa Arab “fiqhun”, berarti pemahaman yang mendalam atas tujuan gerakan (perbuatan) dan perkataan. Makna ini diambil dari pengertian kata Fiqh dalam Al qur’an.

Famali haa ulaai al qaumi yakaduna yafqahuna hadiitsa ......

.....maka mengapa orang-orang itu (kaum munafiq) hampir-hampir tidak memahami (yafqahuna) pembicaraan sedikitpun ( QS, An Nisa, ’: 78)

.....mereka memilki hati, akan tetapi tidak dapat memahami (QS, Al A’raf [7] : 179 )

waman yuridillahu bihi khairan yufaqqihu fi addin .....

.....barangsiapa yang dikehendaki Allah suatu kebaikan, maka Allah pahamkan dalam beragama.

Fiqh shalat secara khusus memiliki kelengkapan makna dan pemahaman yang terkandung dalam setiap gerakan dan ucapan yang disyariatkan oleh Allah Swt. Sehingga setiap gerakan seperti takbir, rukuk, sujud, iftirasy, tahiyyat dan salam tidak hanya sekedar bergerak. Akan tetapi merupakan sebuah simbol-simbol gerak rasa kepatuhan dan kecintaan hati seorang hamba kepada tuhannya. Itu sebabnya mengapa Rasulullah menyuruh umatnya shalat dengan gerakan yang tumakninah, dan tidak dilakukan dengan terburu-buru. Karena setiap gerakan dalam setiap rakaat mempunyai faidah yang berpengaruh terhadap tubuhnya. Pada saat berdiri tumakninah maupun rukuk dan sujud dengan tumakninah, tulang-tulang maupun otot akan merasakan istirahat. Demikian juga setiap bacaan yang diucapkan akan memberikan pengaruh kepada perubahan jiwa bagi yang shalat dengan merendahkan hatinya. Karena setiap berdoa, berarti berhubungan dengan Yang Maha Menciptakan.

Rasulullah menuntun tata cara shalat secara khusus dan bersifat mahdhah. Yaitu suatu syariat yang bersifat baku dan tidak boleh ada seorangpun yang merubah tatanan shalat ini. Dasar ini mengacu kepada sabda Rasulullah “shallu kama raitumuni ushalli, shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat Aku shalat".

Tuntunan praktis yang diajarkan rasulullah kepada para sahabat ini, disampaikan turun-temurun sampai kepada umat Islam sekarang. Walaupun ada perbedaan sedikit masalah furu’ (cabang-cabang) tetapi tidak merubah rukun ketetapan prinsip syar’i. Hal ini hanya disebabkan karena perbedaan dalam memahami peristiwa yang dilakukan Nabi dalam menjalankan ibadah shalat yang memang menyesuaikan kondisi jamaah pada waktu itu.

Banyak hadist Rasulullah yang menceritakan bahwa beliau selalu mengkontrol gerakan shalat dan kekhusyu’an para sahabat ketika melakukan shalat. Ketika diantara ada jamaah yang salah melakukan ruku’ atau sujud. Beliau langsung menegur dan membetulkan shalatnya, lalu jamaah yang lainnya mengikutinya. Namun berita-berita pengajaran Nabi kepada jamaah tidak selalu lengkap yang kita peroleh dari ahli fiqh. Karena dalam setiap pengajaran dan praktek yang dilakukan oleh nabi kepada para sahabat berbeda-beda. Terkadang nabi shalat gerakannya agak dipercepat ketika menghadapi jamaah yang sepuh. Dan terkadang pula Nabi shalat membutuhkan waktu yang lama, sehingga pernah dikeluhkan oleh sahabat yang mengikuti berjamaah dengan Beliau. Dengan adanya perbedaan kondisi dan situasi yang dibawakan oleh Nabi, menyebabkan seolah-olah shalat yang dilakukan diberbagai negara Islam itu berbeda-beda. Karena kebanyakan umat mengira shalat nabi hanya melakukan satu gaya saja. Sehingga ketika ada seorang dari mazhab yang lainnya melaksanakan shalat yang berbeda, dianggap bid’ah dan sesat. Hal inilah yang menyebabkan perdebatan pada kalangan masyarakat, karena ketidaktahuan proses sejarah rilwayah dan dirayah hadist maupun mustahul hadist.

Sahabat Nabi memperoleh kedudukan sangat penting dalam fikih.

Pertama, sebagai ahli hadits karena mereka adalah orang yang berjumpa dengan Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. Karena itu, dari mereka pula kita mewarisi ikhtilaf (perbedaan) di kalangan kaum Muslim.

Kedua, era sahabat juga dikenal sebagai masa berakhirnya masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah, maka pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri mereka sendiri. Sementara itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka.

Ketika menceritakan ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash.

Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip umum dalam mengambil keputusan hukum (istinbath; al-hukm); yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.

Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti. Al-Syathibi menulis, "Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan". Dalam perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat - sebagai ucapan dan perilaku yang keluar dari para sahabat - akhirnya menjadi salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas, mashalih mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggapnya sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya hanya menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja, berdasarkan hadits "berpeganglah pada dua orang sesudahku, yakni Abu Bakar dan Umar"; dan sebagian yang lain, berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan khulafa' al-Rasyidin.

Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting adalah khulafa al-rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapat mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh; bila mereka ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit diatasi.

Fiqh para sahabat (khulafa rasyidun) adalah fondasi utama dari seluruh bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan dua macam pola pendekatan terhadap syari'ah yang kemudian melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang, juga - seperti kata 'Umar ibn Abdul Aziz - menyumbangkan khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran.

Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka, dan mereka pun tidak bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehati hatian, atau lagi-lagi pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisinya memungkinkan untuk itu.

Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537 hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27% hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah meriwayatkan 5374 hadits). Itu karena para tabi'in, yakni mereka yang berguru pada sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin.